Daán yahya/Republika

Teladan Nabi Dalam Fath Makkah

Pembebasan Makkah pada masa Nabi Muhammad SAW terjadi pada akhir bulan suci Ramadhan.

Oleh: Hasanul Rizqa

Dalam sejarah dunia, peristiwa Pembebasan Makkah (Fath Makkah) merupakan contoh terbaik rekonsiliasi yang berujung pada perdamaian untuk semua. Ketika itu, Nabi Muhammad SAW memimpin tidak kurang dari 10 ribu pasukan Muslimin untuk memasuki Makkah al-Mukarramah. Kedatangan beliau tidak membawa aroma dendam sama sekali. Bahkan, Rasulullah SAW memberikan jaminan keselamatan jiwa, harta benda, dan kehormatan bagi seluruh penduduk kota kelahirannya itu.

 

Fath Makkah berlangsung antara tanggal 10 dan 20 pada akhir bulan suci Ramadhan. Delapan tahun sebelumnya, Nabi SAW dan kaum Muslimin terpaksa meninggalkan Makkah, yang dikuasai kelompok kafir Quraisy. Sebab, Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk keluar dari kondisi ketertindasan yang mereka alami di kota tersebut.

 

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak” (QS an-Nisa: 100).

 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS al-Baqarah: 218).

 

Dahulu, pada saat berhijrah, Rasulullah SAW ditemani Abu Bakar ash-Shiddiq. Berkat pertolongan Allah Ta’ala, keduanya berhasil lolos dari kepungan musyrikin. Mereka menempuh padang pasir yang luas pada kegelapan malam. Siang harinya, mereka menghentikan perjalanan untuk menghindari pengejaran orang-orang Makkah dan mata-mata Quraisy.

 

Tujuannya adalah Yastrib. Beberapa hari sebelum Rasulullah SAW dan Abu Bakar berangkat, nyaris seluruh orang Islam telah sampai di kota yang berjarak sekira 430 km arah utara Makkah itu. Muslimin yang tersisa di Makkah hanyalah segelintir, yakni mereka yang ditahan, sakit, dan memang tidak mampu keluar.

 

Sekitar sepekan lamanya, Rasulullah SAW dan Abu Bakar menempuh perjalanan. Akhirnya, keduanya sampai di tujuan. Seluruh warga Yastrib bersuka cita menyambut mereka. Sejak menjadi kediaman Nabi SAW, kota itu pun berganti nama menjadi Madinah al-Munawwarah.

 

Dalam tahun-tahun pertama di Madinah, Rasulullah SAW melakukan konsolidasi umat Islam. Orang-orang lokal dipersaudarakan dengan para pendatang dari Makkah. Kelompok yang pertama dinamakan sebagai Para penolong (Anshar), sedangkan yang lainnya disebut Mereka yang berhijrah (Muhajirin). Mereka seluruhnya bersatu dan saling tolong menolong dalam mendukung dakwah dan melindungi Nabi SAW.

 

Menjelang tahun kedelapan sejak hijrahnya Nabi SAW, Madinah semakin kukuh. Sebaliknya, kaum kafir Quraisy mendapati diri mereka dalam kondisi rentan. Apalagi, semakin banyak suku-suku di Jazirah Arab yang menerima Islam.

dok AP Photo

Konteks peristiwa

 

Bila memperhatikan konteksnya, Fath Makkah adalah puncak dari rentetan peristiwa penting yang terjadi sejak berlakunya Perjanjian Hudaibiyah. Tanda-tandanya tampak mulai dari tahun keenam Hijriyah. Pada suatu hari, Nabi SAW memberitahukan perihal mimpinya kepada para sahabat.

 

Mimpi para utusan Allah SWT adalah wahyu atau nubuat. Beliau menyampaikan, dalam mimpinya itu Muslimin dapat berhaji ke Baitullah dengan aman sentosa. Mendengar itu, para sahabat serentak mengucapkan hamdalah. Kabar gembira ini dengan cepat tersebar ke seluruh Madinah.

 

Akan tetapi, masih tersisa satu pertanyaan. Dengan cara apakah Rasulullah SAW dan Muslimin memasuki Makkah? Apakah melalui pertempuran? Ataukah justru orang-orang Quraisy dengan sebab-sebab tertentu mau membukakan jalan?

 

Nabi SAW menunjukkan bahwa tidak ada rencana berperang. Sampai pada bulan Dzulhijjah, beliau mengumumkan keinginannya untuk berhaji. Sekitar 1.400 orang sahabat, baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin, menyertai perjalanan Rasulullah SAW. Dalam rihlah ini, beliau dan Muslimin seluruhnya mengenakan pakaian ihram. Itu sebagai tanda bahwa kedatangan mereka bukan untuk memicu konflik, tetapi semata-mata berziarah ke Masjidil Haram.

 

Apalagi, Dzulhijjah merupakan salah satu bulan yang dimuliakan umumnya orang Arab. Berperang dalam bulan ini sangat terlarang. Kalaupun memaksakan diri untuk menyerang rombongan Nabi SAW, kaum Quraisy tidak akan didukung suku-suku Arab lainnya.

 

Said Ramadhan al-Buthy menuturkan dalam buku Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah, Rasulullah SAW dan Muslimin setelah bertolak dari Madinah singgah sebentar di Dzul Hulaifah. Beliau lalu mengutus seorang lelaki bernama Basyar bin Sufyan untuk mencari tahu keadaan Makkah. Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan lagi. Di daerah Ghadir Asythath, Basyar kembali menemui Nabi SAW untuk melapor.

 

“Orang-orang Quraisy telah berkumpul untuk menghadapi engkau, ya Rasulullah. Bahkan, kaum Ahabisy juga ikut bersiap melawan engkau. Mereka semua akan menghalangi kita dari Baitullah,” katanya.

 

Sesudah menerima kabar dari Basyar, Nabi SAW mengumpulkan para sahabatnya. Usai bermusyawarah, disepakatilah untuk meneruskan perjalanan menuju Baitullah. Seorang lelaki dari Bani Aslam ditugaskan sebagai penunjuk jalan agar Muslimin tidak melewati jalan yang biasa dilalui musuh.

 DOK WIKIPEDIA

Hudaibiyah: tonggak awal

 

Dengan dipimpin Rasulullah SAW, umat Islam yang berpakaian ihram ini lantas tiba di kawasan Hudaibiyah. Daerah ini memiliki sumur yang menjadi persinggahan mereka sejenak untuk beristirahat. Begitu dihampiri Nabi SAW, atas izin Allah sumur itu menghasilkan air yang berlimpah.

 

Saat Muslimin sedang rehat, datanglah seorang utusan Quraisy yang bernama Budail bin Warqa. Ia mengabarkan kepada Nabi SAW tentang ancaman para elite Makkah itu bila beliau dan rombongan terus bergerak. Rasulullah SAW menjawab, “Sungguh, kami datang tidak untuk memerangi siapapun, tetapi kami datang untuk berziarah ke Baitullah.”

 

Budail lalu kembali ke Makkah untuk menyampaikan perkataan Rasulullah SAW itu. Kaum Quraisy lalu mengutus seorang duta lainnya, Urwah bin Mas’ud. Di hadapan Nabi SAW, Ibnu Mas’ud bersikap arogan. Beberapa sahabat sempat tersulut emosinya. Walaupun begitu, tak sampai terjadi kekerasan dalam pertemuan ini.

 

Begitu kembali kepada kaumnya di Makkah, Urwah berkata, “Demi Tuhan, aku telah melihat begitu banyak raja, bahkan aku pernah bertemu Kisra (raja Persia) dan Negus (raja Habasyah). Namun, tidak pernah kutemukan seorang raja pun yang begitu diagungkan para sahabatnya seperti penghormatan yang ditunjukkan orang-orang itu (para sahabat) kepadanya (Rasulullah SAW).”

 

Ibnu Mas’ud lalu menyarankan orang-orang Quraisy agar tidak menyerang Muslimin. Bagaimanapun, para petinggi musyrikin Makkah masih ragu-ragu. Maka mereka mengutus Suhail bin Amr kepada Nabi SAW. Tugasnya ialah meminta pihak Islam agar mau mengadakan perjanjian tertulis dengan pihak Quraisy.

 

Sesampainya di Hudaibiyah, Suhail berkata kepada Nabi SAW, “Izinkan aku untuk menulis perjanjian antara kami (Quraisy) dan kalian.”

 

Rasulullah SAW memanggil Ali bin Abi Thalib sebagai juru tulisnya. Beliau memerintahkan, “Tulislah, Bismillahirrahmanirrahim.”

 

Tiba-tiba, Suhail menyela, “Demi Tuhan, kami tidak mengenal siapa ar-Rahman itu! Tulis saja Bismika Allahumma!”

 

Ali dan para sahabat yang hadir dalam perundingan ini memprotes keinginan utusan Quraisy itu. Namun, Nabi SAW dengan tenang mengatakan, “Wahai Ali, tulislah: Bismika Allahumma.”

 

Selanjutnya, Rasulullah SAW mendiktekan kepada sepupunya itu agar menulis berikut ini. “Inilah perjanjian yang telah ditetapkan Muhammad Rasulullah ....”

 

Belum tuntas perkataan Nabi SAW itu, lagi-lagi Suhail menyela, “Jangan tulis, ‘Muhammad Rasulullah’! Kalau mengakui bahwa kau utusan Allah, tentu kami tidak akan menghalangimu datang ke Makkah!”

 

“Demi Allah, sungguh aku adalah utusan Allah walaupun kalian mendustakanku,” kata Nabi SAW. Beliau lalu memerintahkan kepada Ali, “Tulislah: Muhammad putra Abdullah.”

 

Ali sempat menyuarakan protes dalam forum itu. “Demi Allah, aku tidak akan menghapus perkataan ‘Muhammad Rasulullah’!” serunya kepada Suhail.

 

Segera, Nabi SAW menyuruh Ali agar menunjukkan kepadanya di mana letak lafaz ‘Muhammad Rasulullah’ pada naskah perjanjian tersebut. Setelah itu, beliau sendiri yang menghapus perkataan itu.

 

Perundingan berlangsung alot. Sebab, pihak Quraisy mengajukan poin-poin yang jelas menyudutkan Muslimin. Para sahabat Nabi SAW kesal dengan arogansi mereka. Bagaimanapun, Rasulullah SAW tetap tenang dalam momen itu. Akhirnya, tercapailah lima butir kesepakatan.

 

Pertama, gencatan senjata berlaku di antara kedua belah pihak selama 10 tahun.

 

Kedua, siapapun dari pihak musyrikin yang datang kepada Nabi SAW (di Madinah) tanpa izin keluarganya, maka harus dikembalikan ke Makkah. Namun, bila ada di antara kaum Muslimin yang murtad dan atau mendatangi musyrikin (di Makkah), maka ia tidak akan dikembalikan ke Madinah.

 

Ketiga, suku-suku Arab manapun diperbolehkan untuk mengikat perjanjian damai dan bergabung dengan salah satu dari kedua pihak (Muslimin atau kafir Quraisy).

 

Keempat, Muslimin pada tahun ketika kesepakatan ini dibuat tidak boleh memasuki Makkah. Akan tetapi, mereka boleh mendatangi Baitullah pada tahun depan dengan syarat, hanya bermukim selama tiga hari serta tidak membawa senjata apa pun kecuali pedang yang tersarung.

 

Kelima, perjanjian ini diikat atas dasar kesediaan penuh untuk melaksanakannya.

DOK WIKIPEDIA

Nubuat kemenangan

 

Umumnya para pengikut Nabi SAW tampak kecewa pada poin-poin Perjanjian Hudaibiyah. Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab tidak kurang kesalnya pada ngototnya orang-orang Quraisy. Dua sahabat itu menyoroti butir kedua dan keempat dari kesepakatan tersebut yang, bagi mereka, jelas merugikan umat Islam.

 

Begitu kembali ke tempat persinggahan Muslimin, Umar mendekati Rasulullah SAW untuk menyampaikan kegelisahannya. “Wahai Rasulullah,” katanya, “bukankah engkau berkata bahwa kita pasti akan mendatangi Baitullah dan melakukan tawaf di sana?”

 

“Benar, tetapi apakah aku mengatakan bahwa pasti kita akan mendatangi Baitullah pada tahun ini juga?” jawab Nabi SAW.

 

“Tidak.”

 

“Sungguh, engkau pasti akan mendatangi Baitullah dan melakukan tawaf di sana,” sabda beliau.

 

Umar kemudian menghampiri Abu Bakar. Sahabat yang bergelar ash-Shiddiq itu berupaya menenangkannya dengan menegaskan, Allah tidak mungkin menelantarkan utusan-Nya.

 

Tak lama berselang, turunlah wahyu, yakni Alquran surah al-Fath kepada Rasulullah SAW. Beliau lantas mengirimkan seseorang untuk membacakan surah tersebut di hadapan Umar.

 

Sosok bergelar al-Faruq itu bergegas menemui sang rasul dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kemenangan itu benar-benar akan terwujud?”

 

“Benar!” jawab beliau.

 

Maka tenanglah hati Umar.

 

Dalam perjalanan pulang ke Madinah, mungkin ada perasaan sendu di hati para sahabat. Sudah berpakaian ihram, tetapi tidak jadi berhaji saat itu. Bagaimanapun, janji kemenangan dari Allah dan Rasul-Nya menguatkan optimisme mereka.

 

Selang beberapa waktu kemudian, barulah kaum Muslimin dapat menangkap hikmah di balik Perjanjian Hudaibiyah. Dengan adanya kesepakatan itu, sekat antara umat Islam dan musyrikin dapat luruh walaupun sejenak.

 

Alhasil, kaum Muslimin dapat berjumpa dan bahkan mendakwahkan Islam kepada orang-orang Makkah tanpa dibayang-bayangi perasaan takut. Orang-orang kafir pun bisa menyimak Alquran dari para dai Muslimin tanpa terhanyut stigma-stigma negatif yang dilontarkan para elite Quraisy tentang Islam.

 

Tentang keadaan pasca-Hudaibiyah ini, Ibnu Ishaq meriwayatkan penuturan az-Zuhri “Ketika kesepakatan (Perjanjian Hudaibiyah) berhasil dicapai dan perang urung berkobar, semua orang saling menjamin keamanan satu sama lain. Mereka saling bertemu, berbincang, dan berdebat.

 

Bahkan, tidak ada seorang pun yang berakal sehat dan membincangkan Islam kecuali dia akan memeluknya (menjadi Muslim). Hanya dua tahun usai Perjanjian Hudaibiyah, jumlah Muslimin telah menyamai, atau bahkan melebihi, jumlah sahabat Nabi SAW yang masuk Islam sebelum perjanjian itu terjadi.”

 

Inilah pembuktian dari surah al-Fath ayat ke-27, yang turun beberapa saat usai Hudaibiyah.

 

لَـقَدۡ صَدَقَ اللّٰهُ رَسُوۡلَهُ الرُّءۡيَا بِالۡحَـقِّ‌ ۚ لَـتَدۡخُلُنَّ الۡمَسۡجِدَ الۡحَـرَامَ اِنۡ شَآءَ اللّٰهُ اٰمِنِيۡنَۙ مُحَلِّقِيۡنَ رُءُوۡسَكُمۡ وَمُقَصِّرِيۡنَۙ لَا تَخَافُوۡنَ‌ؕ فَعَلِمَ مَا لَمۡ تَعۡلَمُوۡا فَجَعَلَ مِنۡ دُوۡنِ ذٰلِكَ فَتۡحًا قَرِيۡبًا

 

“Sungguh, Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya bahwa kamu (Muslimin) pasti akan memasuki Masjidil Haram, jika Allah menghendaki dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut kepala dan memendekkannya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui dan selain itu Dia telah memberikan kemenangan yang dekat.”

 

Sejarah membuktikan, “Fathan qariiban” yang dimaksud dalam ayat itu terjadi pada bulan suci Ramadhan, beberapa tahun berikutnya. Itulah Fath Makkah.

Di depan Ka’bah, wajah beliau tertunduk. Dari lisannya, keluar ungkapan syukur ke hadirat Allah SWT.

Jelang pembebasan

 

Perjanjian Hudaibiyah menampakkan dampak positif kepada kaum Muslimin. Seperti yang telah disepakati, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya tidak bisa melaksanakan ziarah ke Baitullah pada tahun ketika perjanjian tersebut ditandatangani. Akan tetapi, mereka dapat melakukan ibadah itu setahun kemudian.

 

Inilah yang disebut sebagai Umratul Qadha, ‘umrah yang tertunda.’ Pada tahun ketujuh Hijriah, Rasulullah SAW berangkat bersama rombongan Muslimin ke Makkah guna menunaikan ibadah tersebut. Demi mematuhi Perjanjian Hudaibiyah, orang-orang Quraisy pun menyingkir sejenak ke perbukitan. Dalam bayangan mereka, Nabi SAW dan para sahabatnya mengalami kepayahan setelah bertahun silam diusir dari kota ini.

 

Faktanya, kaum musyrikin seakan tak percaya dengan mata kepala sendiri. Mereka menyaksikan betapa luar biasa banyak jumlah pengikut Rasulullah SAW. Menurut berbagai riwayat, total jamaah umrah ini mencapai dua ribu orang atau lebih banyak 400 orang dibandingkan rombongan tahun sebelumnya.

 

Tidak hanya dari segi kuantitas. Kualitas Muslimin pun sungguh-sungguh menakjubkan. Umat Islam begitu taat kepada Nabi SAW. Beliau pun hanya menyuruh kepada perkara-perkara yang baik dan mencegah dari perbuatan mungkar (amar ma’ruf nahi munkar).

 

Alangkah besarnya pengaruh yang ditinggalkan oleh pemandangan demikian. Segala yang diajarkan Islam sesungguhnya telah mengangkat martabat manusia ke tingkat yang paling tinggi. Maka, tak sedikit tokoh Quraisy yang terpesona. Beberapa bahkan berpaling dari kemusyrikan dan menyatakan iman serta Islam. Di antaranya adalah Khalid bin Walid, Amr bin Ash, dan Utsman bin Talha.

 

Usai Umratul Qadha, sebenarnya Rasulullah SAW dan Muslimin menyadari betapa lemahnya kini kedudukan Quraisy. Bagaimanapun, beliau belum merasa perlu untuk langsung membebaskan Makkah. Lagipula, Perjanjian Hudaibiyah baru setahun berjalan. Dari pihak umat Islam, sama sekali tak tebersit untuk melanggar kesepakatan damai yang telah dibuat.

 

Justru, yang kerap mencoreng perdamaian adalah kubu musyrikin. Misalnya, pembunuhan yang dilakukan elite Bani Sulaim terhadap puluhan dai yang hendak mengajarkan Islam kepada masyarakat setempat. Konflik-konflik kecil itu segera dapat diatasi. Akan tetapi, ancaman terbesar terhadap Muslimin belum juga reda, khususnya yang datang dari arah utara.

 

Setelah Perjanjian Hudaibiyyah, Rasullulah SAW mengirimkan surat-surat dakwah sekaligus berdiplomasi kepada para penguasa negeri sekitar Jazirah Arab. Di antara para penerima surat itu ialah kaisar Romawi Timur (Bizantium) Heraklius, raja Persia Kisra, dan raja Mesir Muqauqis. Korespondensi juga ditujukan kepada gubernur Syam (Suriah) yang bernama Hanits bin Abi Syamr al-Ghassani.

 

Dalam perjalanan, di sekitar daerah Mu’tah, al-Harits bin Umair selaku utusan Nabi SAW untuk Syam dicegat penguasa setempat, yakni Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani. Bahkan, Ibnu Umair lantas dibunuh dengan kejamnya. Pada tahun yang sama, para delegasi Rasulullah SAW untuk Banu Sulayman dan Dhat al Talh juga dibunuh pemimpin lokal.

 

Setelah menerima kabar ini, Nabi SAW menyusun pasukan untuk bertolak ke Mu’tah. Pasukan tersebut dipimpin Khalid bin Walid yang baru tiga bulan memeluk Islam. Jalannya Perang Mu’tah tidak sebanding, yakni tiga ribu Muslimin melawan 200 ribu pasukan koalisi Bizantium. Namun, atas izin Allah SWT, strategi yang diterapkan Khalid terbukti sukses. Muslimin berhasil memukul mundur ribuan prajurit Romawi.

 

Peristiwa al-Watir

 

Pulanglah Khalid bin Walid dan pasukannya yang tersisa ke Madinah. Kabar ini sampai pula ke Makkah. Dalam penilaian orang-orang Quraisy, Muslimin telah kalah perang. Artinya, umat Islam tidak lagi kuat secara militer. Maka, inilah saatnya menyerang; abaikan saja Perjanjian Hudaibiyah.

 

Di antara butir-butir kesepakatan Hudaibiyah adalah bahwa suku-suku Arab manapun bebas bersekutu kepada salah satu kubu, apakah Nabi Muhammad SAW ataukah Quraisy. Ketika itu, Bani Khuzaa telah bergabung dengan kubu Rasulullah SAW, sedangkan Bani Bakr dengan Quraisy. Sebenarnya, sudah ada permusuhan yang lama antara Khuzaa dan Bakr. Namun, konflik itu mereda sejak masing-masing berkawan dengan pihak-pihak yang terikat Perjanjian Hudaibiyah.

 

Pada tahun kedelapan Hijriah, pihak Bani Bakr menyerang Bani Khuzaa yang sedang berada di oasis sendiri yang bernama al-Watir. Tak sedikit orang Khuzaa yang terbunuh akibat serangan itu. Seorang tokoh Khuzaa, Amr bin Salim, lekas memacu kudanya ke Madinah untuk melapor kepada Rasulullah SAW. Setelah mendengarkan keterangannya, beliau bersabda, “Amr bin Salim, engkau mesti dibela.”

 

Di Makkah, kaum Quraisy justru ciut nyalinya. Kini, mereka mulai mencemaskan dampak dari peristiwa berdarah di al-Watir. Para pemuka setempat lantas mengutus Abu Sufyan bin Harb untuk menemui Nabi SAW di Madinah. Tujuannya adalah memperbarui dan meneruskan perjanjian gencatan senjata.

 

Namun, Nabi SAW tidak mengucapkan sepatah kata pun. Abu Sufyan lantas menemui Abu Bakar dan Umar bin Khattab dengan harapan kedua sahabat itu dapat membujuk beliau. Akan tetapi, gayung tak bersambut. Kembalilah dia ke Makkah dengan perasaan kecewa.

 

Sesudah itu, Rasulullah SAW secara diam-diam menyusun taktik pemberangkatan pasukan Muslim ke Makkah. Seorang sahabat yang mengetahui hal ini ialah Hathib bin Abu Balta'ah. Ia lalu menyusun surat peringatan kepada Quraisy. Isinya membeberkan rencana Nabi SAW yang hendak segera menyerang Makkah.

 

Surat yang dibuat Hathib itu akhirnya terungkap. Ali bin Abi Thalib menuturkan, beberapa waktu sebelum Pembebasan Makkah, dirinya bersama dengan Zubair dan Miqdad ditugaskan Nabi SAW untuk berangkat ke perkebunan Khakh. “Di sana, kalian akan bertemu seorang wanita yang membawa sepucuk surat. Ambil surat itu darinya,” demikian pesan Rasulullah SAW.

 

Ternyata, dari tangan perempuan itu ada sepucuk surat yang tertanda “dari Hathib bin Abu Balta'ah kepada para penduduk musyrikin di Makkah.” Di dalamnya, si penulis pun membeberkan beberapa rahasia Nabi SAW. Banyak sahabat yang merasa marah dengan “pengkhianatan” Hathib. Akan tetapi, Rasulullah SAW memaafkannya. “Dia (Hathib) adalah salah seorang yang pernah mengikuti Perang Badar. Tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah telah mengangkat derajat semua kaum Muslimin yang mengikuti Perang Badar? Sampai-sampai Allah berfirman, Berbuatlah sekehendak hati kalian! Aku (Allah) telah mengampuni kalian,” sabda beliau. Tak lama berselang, turunlah wahyu dari Allah, yakni surah al-Mumtahanah ayat pertama.

Orang-orang Islam meruntuhkan berhala | DOK WIKIPEDIA

Pembebasan dimulai

 

Situasinya sekarang, Rasulullah SAW sudah menyiapkan kekuatan untuk menguasai Makkah. Sementara, orang-orang Quraisy pun telah mendapatkan kabar tentang rencana Muslimin dari Madinah itu. Moral penduduk musyrikin Makkah kian merosot drastis.

 

Apalagi, sekutu-sekutu Muslimin di luar Makkah, semisal Bani Hanifah, mulai menunjukkan dukungan nyata. Pemimpin Suku Hanifah, Tsumamah bin Utsal, masuk Islam. Atas inisiatifnya sendiri, ia lantas menolak berhubungan niaga dengan masyarakat Makkah. Boikot ekonomi yang dilancarkannya berakibat fatal bagi kaum Quraisy. Mereka kesusahan, bahkan dibayang-bayangi ancaman kelaparan.

 

Petinggi Quraisy lalu menulis surat kepada Nabi SAW, memohon agar Tsumamah menghentikan boikot tersebut. Beliau berhati lembut. Kepada pemimpin Bani Hanifah itu, Rasulullah SAW menyuruh agar embargo disetop. Walaupun distribusi pangan ke Makkah telah kembali normal, wibawa kaum Quraisy sudah runtuh sama sekali di hadapan Muslimin.

 

Pada hari itu, tanggal 10 Ramadhan tahun kedelapan Hijriah. Rasulullah SAW mulai bertolak dari Madinah dengan diiringi para pengikutnya. Kepemimpinan atas Kota Nabi untuk sementara diamanahkan kepada Kultsum bin Husain.

 

Rasulullah SAW mengirimkan surat kepada para pemimpin kabilah-kabilah Arab di sekitar Madinah. Mereka berasal dari Suku Aslam, Ghiffar, Mazinah, Juhainah, dan sebagainya. Semuanya bertemu di Zhahran, sebuah daerah antara Madinah dan Makkah. Rombongan umat Islam ini berjumlah sekitar 10 ribu orang.

 

Berita mengenai hal itu belumlah sampai ke telinga elite Quraisy. Rupanya, mereka masih berupaya untuk melobi Nabi SAW agar memperbarui Perjanjian Hudaibiyah dan mengabaikan tragedi berdarah di al-Watir. Berangkatlah tiga orang utusan Quraisy, yakni Abu Sufyan, Hakim bin Hazam, dan Badil bin Waraqa'. Ketika lewat dekat Zhahran, ketiganya melihat Muslimin telah mendirikan tenda di sana.

 

Belum sempat kabur, tiga petinggi Quraisy itu ditangkap para sahabat Nabi SAW. Mereka lalu digelandang ke hadapan Rasulullah SAW. Pada saat itulah, Abu Sufyan menyatakan diri masuk Islam.

 

Sesudah itu, di hadapan mualaf tersebut Nabi SAW bersabda, “Siapa saja yang masuk rumah Abu Sufyan, ia aman. Siapa saja menutup pintunya, ia pun aman. Siapa saja memasuki Masjidil Haram, ia juga aman.”

 

Teladan Rasulullah

 

Penaklukan Makkah terjadi pada 10-20 Ramadhan tahun kedelapan Hijriah. Melalui misi tersebut, Nabi Muhammad SAW menguasai kepemimpinan atas kota tempat Masjidil Haram berada. Sangat jauh dari kesan para penguasa yang bermental jahiliah. Rasulullah SAW justru memaafkan orang-orang yang dahulu pernah menindasnya. Tidak ada dendam sama sekali.

 

Nabi SAW memasuki Makkah al-Mukarramah dengan menaiki unta beliau yang bernama al-Qashwa. Di depan Ka’bah, wajah beliau tertunduk. Dari lisannya, keluar ungkapan syukur ke hadirat Allah SWT.

 

Nabi SAW lantas mengusap Hajar al-Aswad seraya bertakbir. Diiringi para pengikutnya, Rasulullah SAW kemudian bertawaf tujuh kali putaran. Setelah itu, beliau turun dari untanya dan mendekati Maqam Ibrahim. Di sana, al-Musthafa mendirikan shalat dua rakaat.

 

Sesudahnya, Nabi SAW memerintahkan supaya gambar dan lukisan pada dinding Ka’bah dihilangkan. Demikian pula dengan berhala-berhala di sekeliling bangunan suci tersebut. Benda-benda mati itu sebelumnya dipuja-puja kaum musyrikin. Dengan tongkat di tangannya, Rasulullah SAW menunjuk pada sesembahan kafirin itu seraya membacakan surah al-Israa’ ayat 81. Artinya, “Dan katakanlah, 'Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.’ Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”

 

Setelah menyuruh Bilal untuk mengumandangkan azan dari atas Ka’bah, Nabi SAW berpesan kepada khalayak, “Wahai sekalian orang-orang Quraisy! Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian keangkuhan jahiliyah dan berbangga dengan nenek moyang. Semua manusia berasal dari Adam, dan Adam itu diciptakan dari tanah.”

 

Dikisahkan, ketika Rasulullah SAW dan pasukannya memasuki Makkah, ada seorang warga Quraisy yang menatap beliau dengan raut wajah ketakutan. Begitu melihatnya, Nabi SAW pun berkata kepadanya, “Janganlah engkau takut, sesungguhnya aku adalah anak seorang perempuan Quraisy yang makan dendeng di Makkah.”

 

Ya, sewaktu dalam posisi kemenangan, beliau merangkul orang-orang yang dahulunya berbuat jahat kepada diri dan umatnya. Dalam kesempatan itu, beliau SAW berkata kepada penduduk Makkah, “Apa yang akan aku katakan dan lakukan menurut perkiraan kalian?”

 

Mereka menjawab, “Engkau adalah saudara kami yang pemurah dan putra paman kami yang penyayang.”

 

Beliau SAW kemudian bersabda, “Aku akan melakukan apa yang dilakukan saudaraku, Nabi Yusuf.”

 

Doa Nabi Yusuf diabadikan dalam Alquran surah Yusuf ayat ke-92. Artinya, “Dia (Yusuf) berkata: ‘Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.”

 

Mendengar pernyataan Nabi SAW itu, legalah hati orang-orang Makkah. Mereka kembali ke rumah masing-masing dengan suka cita. Yang terjadi kemudian, seluruhnya memeluk Islam.

top